
Mengenal Jaranan Kediri
Dilansir dari berbagai sumber, seni jaranan Kediri adalah kesenian kuda lumping yang kabarnya mulai muncul pada abad ke-11 di Wengker atau Ponorogo yang diciptakan penguasa Ponorogo pada saat itu. Kesenian ini lantas masuk ke Kediri pada abad ke-19 pada masa kolonial Belanda dan berkembang pesat karena banyak warok Ponorogo yang mengambil anak kecil dari Kediri (juga Nganjuk, Tulungagung, dan Trenggalek) untuk dijadikan sebagai gemblak. Seiring waktu, seniman jaranan Kediri merasa memiliki kesenian tersebut sepenuhnya karena alur kisahnya menceritakan pula Kerajaan Kediri, juga untuk menutupi adanya sejarah hubungan bahwa banyak remaja Kediri yang dijadikan gemblak seorang warok dari Ponorogo. Meski demikian, secara pertunjukan, kesenian ini tidak jauh berbeda dengan reog Ponorogo. Kesenian jaranan Kediri (atau juga kerap disebut jaranan Jawa) merupakan pengejawantahan cerita Diah Songgolangit dilamar oleh Kerajaan Bantar dari Ponorogo dan kisah peperangan antara Bantar dengan Lodoyo.[1] Jaranan Jawa kerap ditampilkan untuk acara-acara khusus seperti bersih desa yang dipercaya untuk menghindari marabahaya.[2]Apa Itu Barongan Kediri?
Nah, dalam pertunjukan jaranan Kediri, diperlukan berbagai peralatan kesenian. Ada kuda lumping, berupa anyaman bambu berbentuk hewan kuda. Kemudian, ada celeng menggunakan kulit hewan atau anyaman bambu berbentuk hewan babi. Peralatan ini dilengkapi pakaian penunjang seperti udeng, baju, celana, sempyok dada Ponorogo, sabuk epek timang, dan selendang. Selain itu, ada apa yang disebut dengan barongan. Berasal dari kata ‘baron’ yang mendapatkan imbuhan –an, barongan yang dimaksud adalah singa barong yang merupakan legenda rakyat di Kediri.[3] Barongan dalam arti sebenarnya adalah simbol atau gambaran (bisa pula disebut tiruan) dari pengejawantahan si raja hutan yang besar.[4] Menurut periodenya, barongan ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Barongan era 1970-an misalnya, menggambarkan sosok siluman naga menggunakan teknik ukir yang masih sangat sederhana. Kemudian, pada era 1980-an, barongan yang menggambarkan siluman naga memang masih sederhana, tetapi sudah menggunakan hiasan kumis dan rambut memakai ijuk. Di dekade berikutnya, baringan yang menggambarkan sosok naga sudah menggunakan kumis dan rambut dengan teknik ukir. Lalu, memasuki milenium ketiga, penampikan barongan lebih dinamis, dengan teknik ukir yang halus dan hiasan sisik di atas kepala memakai kulit sapi. Di era sekarang, penggambaran barongan telah memakai teknik ukir yang lebih detail. Umumnya, barongan Kediri dibuat dengan bahan dasar kayu waru. Pemilihan kayu ini karena memiliki karakter serat kayu yang halus, ulet (tahan terhadap benturan), serta gampang dipahat sehingga berbeda dengan bahan-bahan lainnya. Ukuran kayu waru untuk membuat barongan biasanya panjang 50 cm dan lebar 25 cm. Sebelum dipahat dan diukir, kayu waru harus menjalani pengeringan yang maksimal. Di Kediri sendiri, sudah ada banyak perajin yang membuat barongan. Karena prosesnya cukup rumit dan membutuhkan teknik tinggi, pembuatan satu barongan bisa memakan waktu cukup lama. Untuk barongan sederhana, waktu yang dibutuhkan rata-rata dua minggu. Sementara itu, untuk model yang presisi dan detail-detail tertentu, bisa memakan waktu hingga dua tahun lamanya.
Harga Barongan Kediri
| Varian Barongan Kediri | Harga |
| Barongan Kediri Anak Kayu Jamang Talang Ukuran 18 | Rp399.000 |
| Barongan Kediri Ukuran 19 | Rp508.000 |
| Barongan Kediri Anak Bonus Kemul | Rp1.378.000 – Rp1.783.000 |
| Barongan Kediri Dewasa Kayu Dadap Ukuran 20 | Rp2.010.000 |
| Barongan Kediri Dewasa Kayu Waru Ukuran 21/22 (Anting, Sungut, Rambut) | Rp2.085.000 – Rp3.346.000 |
Kategori: Kerajinan
Tag: budaya, hewan, karakter, Kediri, kesenian, kostum, sejarah, tradisional, ukuran