Info Terbaru Biaya Hidup di Jakarta Sesuai KHL (Kebutuhan Hidup Layak)

Hingga detik ini, masih banyak orang yang mendambakan dapat bekerja dan hidup di Jakarta. Pasalnya, berdomisili di kota besar seperti ini dianggap dapat menaikkan derajat mereka, terutama dalam hal ekonomi. Pendapat itu memang tidak sepenuhnya salah. Namun, bagi mereka yang ingin stay di Jakarta, juga wajib memperhitungkan biaya untuk hidup sehari-hari. Nah, kisaran biaya ini setidaknya dapat diketahui dengan memperhatikan KHL (Kebutuhan Hidup Layak).

Tugu Monas Jakarta
Tugu Monas Jakarta

Apa Itu KHL?

Mungkin banyak yang belum paham mengenai KHL. Secara sederhana, KHL dapat dikatakan sebagai standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, non-fisik, maupun .[1] Biasanya, KHL ini mengacu pada standar kebutuhan seseorang untuk satu bulan.

Bacaan Lainnya

Peraturan mengenai KHL diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembahasan lebih dalam mengenai KHL dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pentahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.[2] Kemudian, Keputusan Menteri Tenaga Kerja tersebut direvisi oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang Perubahan Penghitungan KHL.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012, jenis kebutuhan yang semula 46 jenis, ditambah menjadi 60 jenis, antara lain ikat pinggang, kaos kaki, deodorant 100 ml/g, seterika 250 Watt, rice cooker 1/2 , celana pendek, pisau dapur, semir dan sikat sepatu, rak piring portable plastik, sabun (colek) 500 gr per bulan, gayung plastik ukuran sedang, ballpoint atau pensil, dan cermin 30 x 50 cm.[3] Selain itu, juga terdapat penyesuaian jenis kualitas dan kuantitas KHL serta perubahan jenis kebutuhan.

Kemudian, pada tahun 2020, terdapat perubahan komponen KHL yang diikuti dengan penambahan komponen dan juga pengurangan volume. Dalam aturan yang tertuang di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permenaker Nomor 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL), kebutuhan gula pasir yang sebelumnya dipatok 3 kg, kini menjadi 1,2 kg sebulan.

KHL ini sering dijadikan dasar untuk merumuskan usulan besaran minimum kota/provinsi, yang bersifat kuantitatif sehingga harus tepat dan akurat.[4] Meski demikian, KHL bukanlah satu-satunya faktor yang dipertimbangkan, karena masih ada empat faktor penting lainnya, yakni produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kemampuan usaha marginal, dan kondisi pasar kerja.

Namun, mulai tahun 2021 hingga 2022, pemerintah sudah tidak menggunakan KHL sebagai salah satu komponen untuk menentukan besaran upah minimum. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021, disebutkan bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. KHL tidak dimasukkan, tetapi bukan berarti tidak dipakai karena dasar menghitungnya tetap memakai KHL.

Salah satu sudut DKI Jakarta
Salah satu sudut DKI Jakarta

Berapa KHL Jakarta?

Besaran KHL di masing-masing kota tentu saja berbeda. Di Jakarta misalnya, pada bulan November 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan nominal upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun 2020 sebesar Rp4.267.349,906. Jumlah UMP ini mengalami kenaikan sebesar 8,51 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Klaim pemerintah setempat, penetapan UMP itu sudah sesuai dengan dasar hukum yang berlaku, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah.

Sebenarnya, UMP yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk tahun 2020 masih lebih tinggi dibandingkan standar KHL di wilayah tersebut sepanjang tahun 2019. Berdasarkan survei yang hasilnya diumumkan pada Oktober 2019, KHL Provinsi DKI Jakarta ternyata masih sedikit lebih rendah di bawah UMP tahun 2019. Survei yang dilakukan Dewan Pengupahan DKI Jakarta mengatakan, KHL di ibukota Indonesia untuk tahun 2019 sebesar Rp3.965.221, atau sedikit lebih rendah dibandingkan UMP tahun 2019 yang sebesar Rp3.940.973.

Menurut survei KHL 2019 yang dilakukan Dewan Pengusaha DKI Jakarta, kebutuhan biaya masyarakat ibukota akan kontrakan rumah berada di angka Rp1.100.000 per bulan, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp850.000 per bulan, sedangkan biaya untuk rekreasi berkisar Rp40 ribuan, dan kebutuhan akan listrik untuk rumah tangga menelan biaya rata-rata Rp400.000 per bulan.

Kemudian, pada Oktober 2020, UMP DKI Jakarta untuk tahun 2021 ditetapkan sebesar Rp4.416.186,548 atau naik 3,27 persen dari UMP tahun sebelumnya. Meski sudah ditetapkan, pemerintah setempat tetap memperkenankan para pelaku usaha tidak memenuhi aturan tersebut, tentunya dengan berbagai syarat, karena Indonesia memang sedang dilanda pandemi Covid-19 yang memukul sektor ekonomi. UMP DKI Jakarta kembali naik di tahun 2022, sebesar Rp4.641.854. Jika dibandingkan tahun 2021, itu naik sekitar 5,1 persen.

Ilustrasi kehidupan karyawan kantor di Jakarta (sumber : Bisnis Indonesia)
Ilustrasi kehidupan karyawan kantor di Jakarta (sumber : Bisnis Indonesia)

Lalu, berapa besaran KHL di Jakarta untuk saat ini? Sayangnya, selain penambahan jenis komponen yang dalam penentuan KHL, pemerintah belum melakukan survei besaran KHL Jakarta dan daerah lainnya pada tahun 2020. Berdasarkan beberapa sumber, biasanya peninjauan besaran KHL dilakukan setiap lima tahun sekali.

Namun, sebagai salah satu patokan, sejumlah referensi menyatakan bahwa untuk hidup ‘normal’ di Jakarta, dibutuhkan biaya sekitar Rp5 juta per bulan di tahun 2022, naik dibandingkan tahun 2021 yang dipatok Rp4,5 jutaan per bulan. Komponen yang menyedot biaya paling mahal biasanya tempat tinggal dan makanan. Meski demikian, yang perlu diingat bahwa besaran biaya hidup bisa berbeda untuk masing-masing orang, tergantung gaya hidup.

[Update: Almas]

[1] Mahila, Syarifa. 2014. Kebutuhan Hidup Layak dan Pengaruhnya terhadap Penetapan Upah Minimum Provinsi Ditinjau dari Hukum Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 14(2): 42-51.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Mahila, Syarifa. 2015. Analisis Mekanisme Penetapan Upah Minimum Provinsi Jambi Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 15(3): 164-170.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *